KH. Abbas (1879-1946)

MUTIARA dari BUNTET PESANTREN

KH. ABBAS
Lahir: di Desa Pekalangan, Ci-
Rebon, Jawa Barat, pada tanggal
24 Zulhijjah 1300 H/1879 M.
Wafat: 1 Rabiul Awal 1365
H/1946 M. Dimakamkan di
Buntet Pesantren.
Pendidikan: Pesantren Sukanasari,
Plered, Cirebon; Pesantren Jatisari;
Pesantren Tegal; Pesantren Tebuireng,
Jombang; Mekkah Mukarramah.
Pengabdian: Pengasuh Pesantren
Buntet, Cirebon; ikut mendirikan
Pesantren Lirboyo, Kediri; dan
dikenal sebagai pejuang.

SETIAP usai shalat Dhuhur atau ashar, sebuah langgar yang berada di Pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, bahkan juga ada yang dari Jawa Tengah. Jangan kaget, mereka bukan para santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan: inilah masyarakat yang hendak meminta ilmu kesaktian pada sang guru.
Sang guru, siapakah gerangan? Dia adalah Kiai Abbas bin KH. Abdul Jamil yang menempati langgar sederhana itu. Di langgar yang beratap genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah Kiai Abbas yang berperawakan agak gemuk dengan kulit sawo matang itu menerima tamu tak henti-hentinya. Saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu menutupi peci putih yang dilengkapi serban ― seperti lazimnya para kiai. Ia tak lagi mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas.(Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")



KH. Muhammad Dahlan (1909-1977)

PEMRAKARSA MTQ dan BERDIRINYA PTIQ

KH. MUHAMMAD DAHLAN
Lahir: 2 Juni 1909 di Desa Mandaran,
Rejo, Pasuruan, Jawa Timur
Wafat: 1 Februari 1977. Dimakamkan
Di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.
Pendidikan: Pesantren Siwalan,
Panji, Sidoarjo; Pesantren Tebuireng,
Jombang; Mekkah Mukarramah.
Perjuangan/Pengabdian: Pendiri
NU Cabang Bangil; Konsul NU Daerah I
Jatim, anggota Dewan MIAI, anggota
Dewan Partai Masyumi, Ketua Umum PBNU,
Anggota Konstituante, Menteri Agama,
dan anggota DPA.
KALA itu bulan Ramadhan, tahun 1939. Seorang pemuda berusia 30 tahun sedang asyik menelaah sejumlah kitab berbahasa Arab selepas Shalat Tarawih. Hujan deras sejak Magrib yang mengguyur Desa Mandaran Rejo, Pasuruan, Jawa Timur masih menyisakan udara yang cukup dingin, dihembuskan semilir angin pada tengah malam sekitar pukul 22.00.
Tiba-tiba terdengar tabik salam dibarengi ketukan pintu, tanda ada tamu yang bertandang ke rumahnya. Pemuda itu mempersilahkan tamunya masuk kedalam rumah. Sambil mengingat-ingat siapa tamu yang baru pertama kali dijumpainya, pemuda itu mengamati sosok perawakan sang tamu. Setelah memperkenalkan diri, tahulah tuan rumah, bahwa tamunya adalah kakak kandung sahabatnya ketika ia mengenyam pendidikan di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, Jawa Timur, sekitar 20 tahunan yang lalu. Sang tamu menceritakan maksud kedatangannya. Sejak tiga hari yang lalu ia menderita sakit gigi, dan sejak lepas Maghrib tadi rasa sakitnya kian menjadi-jadi. Atas saran adiknya, ia bermaksud memohon kesediaan tuan rumah untuk menyembuhkan sakitnya itu.(Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")



KH. Bisri Musthofa (1915-1977)

ULAMA PENGARANG yang PRODUKTIF

KH. BISRI MUSTHOFA
Lahir: pada tahun 1915 di Rembang,
Jawa Tengah
Wafat: pada tanggal 16 Februari 1977
Pendidikan: Sekolah “Ongko Loro”;
Pesanren Kajen (3hari); Pesantren
Kasingan, Rembang; Mekkah Mukaramah.
Perjuangan/Pengabdian: Ketua NU;
Ketua Hizbullah; Ketua Masyumi Cabang
Rembang; Kepala Kantor Agama;
Ketua PA Rembang; Anggota Konstituante;
DPRD Jateng; MPRS dan MPR;
Pembantu Menteri Penghubung Ulama;
Anggota Majelis Syura PPP;
Syuriyah NU Wilayah Jateng.


KIAI BISRI adalah figur seorang orator, profil mubaligh yang mendekati sempurna. Seorang kiai pengasuh pesantren dan pengarang yang produktif. Seorang mubaligh yang bisa berbicara mengenai banyak hal, dalam bermacam-macam situasi dan kondisi. Suasana sedih, gembira maupun yang biasa-biasa. Masalah agama, sosial maupun politik. Sejak pemilu tahun 1955, Kiai Bisri telah membuktikan keis¬timewaannya dalam merangkai kata dan menata vokal dengan tone yang mengagumkan, dalam kampanye un¬tuk partai NU. Dan NU, waktu itu, berhasil menjadi partai papan atas setelah PNI dan Masyumi.
Kemampuan panggung Kiai Bisri memang tak terbantah, dan diakui oleh siapapun. Benar apa yang digambarkan oleh KH. Saifuddin Zuhri. Bahwa Kiai Bisri adalah orator, ahli pidato yang dapat mengutara¬kan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gam¬blang. Mudah diterima orang kota atau orang desa. Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Yang kelihat¬an¬nya sepele menjadi amat penting. Kritik-kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan. Pihak yang terkena kritik tidak marah, karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan. (Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")



KH. Muhammad Hasyim Asy'ari (1871-1947)

BAPAK KAUM SANTRI, PEMBELA TANAH AIR
KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI
Lahir: pada tanggal 14 Februari 1871,
di Desa Nggendang, Jombang
Wafat: 25 Juli 1947.
Pendidikan: Pesantren Wonokoyo,
Probolinggo; Pesantren Langitan, Tuban;
Pesantren TrenggaLis, Semarang;
Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo;
Mekkah Mukarramah.
Pengabdian: Pengasuh Pesantren
Tebuireng, Jombang; Pemrakarsa
Komite Hijaz; Pendiri NU; Pejuang.

PARA pengungsi itu berbondong-bondong memasuki daerah Jombang. Kota Surabaya sepenuhnya sudah dikuasai Belanda. Bahkan, tentara Belanda sudah mulai menapakkan kakinya di perbatasan Krian, Mojokerto. Saat itulah rombongan utusan Bung Tomo ― pemimpin perjuangan untuk mempertahankan Kota Pahlawan di tahun 1945 itu ― menginjakkan kakinya di pintu gerbang Pesantren Tebuireng.
Lingkungan pesantren saat itu lengang. Utusan yang terdiri dari para lasykar Surabaya langsung masuk menuju kediaman Hadratussyekh KH.Muhammad Hasyim Asy'ari, tokoh spiritual yang secara tidak langsung mengendalikan perlawanan "arek-arek Suroboyo". Para utusan Bung Tomo itu tidak langsung bertatap muka dengan Hadratussyekh lantaran saat itu beliau masih istirahat.
Yang menemui mereka adalah salah seorang putra lelakinya, Yusuf Hasyim (kini pengurus Syuriyah PBNU). Tak beberapa lama, Kiai Hasyim sudah muncul di ruang tamu kediamannya. Tanpa banyak basa-basi, mengingat gentingnya keadaan, para utusan itu menghaturkan pesan Bung Tomo agar Kiai Hasyim segera mengungsi keluar dari Jombang. Jawaban Kiai? Beliau merenung sebentar. Beberapa saat kemudian, pendiri NU ini tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas saran yang disampaikan Bung Tomo atas dirinya. (Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")

MEMBENTENGI AHLUSSUNAH WAL JAMA'AH
KH. R. ASNAWI
Lahir: pada tahun 1861,di Kudus, Jawa TengahWafat: 26 Desember 1959,Dimakamkan di Masjid Menara KudusPendidikan: Pesantren Mangunsari,Tulungagung, Jawa Timur;Pesanten Mayong, Jepara, Jawa Tengah;Mekkah MukarramahPengabdian: Komisaris SI Cabang Mekkah,pendiri Madrasah Kudsiyah di Kudus;pendiri NU dan seorang Mustasyar periodepertama; pengasuh pesantren di Kudus;pejuang dan mubaligh yang berani.SUATU hari, Hadratussyekh Hasyim Asy'ari merasa musykil ketika membaca sehelai surat yang disodorkan oleh puteranya, H. A. Wahid Hasyim. Kepada puteranya yang saat itu detemani oleh Saifuddin, pemimpin Ansor Banyumas, beliau memperlihatkan bagian-bagian isi surat yang dirasa amat berat. Kepada teman puteranya itu beliau menunjukkan surat berbahasa Arab tersebut dan mengatakan: "Aku merasa susah sekali, karena guru saya ini marah kepada saya. Masalahnya, karena saya mengizinkan terompet dan genderang yang dipakai anak-anak kita, Pemuda Ansor, padahal guru saya ini mengharamkan…."Demikian sekelumit cerita yang dicatat KH. Saifuddin Zuhri dalam otobiografinya, Berangkat dari Pesantren. Saat itu buat pertama kalinya dia bertemu Hadratussyekh Hasyim Asy'ari di kediamannya, Pesantren Tebuireng. Dalam Perjalannya menghadiri Muktamar NU ke-15 di Surabaya ia diminta oleh HA. Wahid Hasyim untuk mampir ke sana. Adapun orang yang dikatakan oleh Hadratussyekh sebagai gurunya yang mengirim surat tersebut tak lain adalah KH.R. Asnawi, salah seorang ulama sepuh, pendiri NU dari Kudus.Meskipun tidak pernah menjadi muridnya langsung, Hadratussyekh menganggap KH.R. Asnawi sebagai gurunya. Yang segera tampak dari kisah tadi, bahwa watak dan sikap KH. R. Asnawi begitu tegas dan konsisten dalam melihat persoalan. Sesuai dengan teks yang termaktub dalam kitab fiqh, maka begitu pula pendapatnya yang harus diamalkan ― termasuk mengenai terompet dan genderang. (Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")



KH. R. AS’AD SYAMSUL ARIFIN

TOKOH KHARISMATIK yang TAMPIL di SAAT KRITIS
KH. R. AS’AD SYAMSUL ARIFIN
Lahir: pada tahun 1879 di Kota
Suci Mekkah, dan boyong ke Kampung
halaman, Pamekasan, Tahun 1901.
Wafat : 4 Agustus 1990.
Pendidikan: Pesantren Guluk-guluk
dan Pesantren Bangkalan, Madura;
Pesantren Tebuireng, Jombang;
Pesantren Sidogiri, Pasuruan;
Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo,
Jawa Timur; Mekkah Mukarramah.
Pengabdian : Pengasuh Pesantren
Sukorejo, Banyuputih, Situbondo;
anggota DPRD Situbondo;
anggota Konstituante; Mustasyar PBNU.

DUNIA ini panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah…….
Syair lagu penyanyi kribo Ahmad Albar itu agaknya cukup tepat untuk menggambarkan kehidupan KH. R. As’ad Syamsul Arifin. Sampai awal 1982 nama Kiai As’ad, panggilan akrabnya, belum ‘berbunyi’. Kalaupun kedengaran berbunyi paling-paling baru sayup-sayup sampai ke telinga masyarakat. Tapi, pertengahan 1982 tiba-tiba namanya muncul sebagai pemain utama dalam pentas kehidupan nasional. Bukan hanya di pentas kaum ‘sarungan’, tapi juga di pentas kaum ‘berdasi’ dan ‘bersafari’. Namun, seperti nyanyian Ahmad Albar, jalan cerita cepat sekali berubah. Secepat kemunculan Kiai As’ad di pentas, secepat itu pula Kiai As’ad surut dari pentas.
Tanggal 2 Mei 1982 tercatat sebagai tanggal bersejarah bagi Kiai As’ad. Saat itulah pemunculannya di pentas nasional dimulai. Bersama Kiai Ali Ma’shum (mantan Rais ‘Aam PBNU, pengasuh dan pimpinan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta) dan Kiai Machrus Ali (pengasuh dan pimpinan Pesantren Lirboyo), Kiai As’ad saat itu menemui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (ketika itu) Dr. KH. Idham Chalid. Dari pertemuan di kediaman Idham Chalid itu lahir pernyataan pengunduruan diri Idham Chalid sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ula¬ma (PBNU).
Pernyataan pengunduruan diri itu menghebohkan, bukan saja di kalangan NU, tapi juga masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya. Maklum saja, saat itu Idham Chalid masih menjabat sebagai Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Kehebohan itu bertambah-tambah ketika Idham Chalid mencabut kembali pernyataan pengunduran dirinya pada tanggal 14 Mei 1982. (Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")

KH. Thohir Bakri (1908-1959)

"GATUTKACA" dari PRABAN

KH. THOHIR BAKRI
Lahir: pada tahun 1908, di
Praban, sebelah selatan Tugu
Pahlawan, Surabaya, Jatim
Wafat : 26 Juli 1959.
Pendidikan: Pesantren Peterongan,
Jombang; Pesantren Tebuireng,
Jombang, Jatim;
Pengabdian : Wakil Ketua Subbanul
Wathan; Bendahara Da’watus Syubban;
Ketua NU Surabaya; Perintis GP Ansor;
Ketua Sarbumusi Surabaya; Presiden
Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama
Afdeeling ANO; Kepala KUA Surabaya;
Anggota Konstituante.

“SEPERTI kemarin saja kejadiannya, kalau saya mengingat rame-rame di Gedung Bubutan VI/2 Surabaya, sekretariat ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Padahal itu semua sudah 23 tahun yang lalu. Kalau saya datang ke Surabaya menemui beliau di Bubutan VI/2, selalu saja beliau berada di kantor, ketrak-ketruk menghadapi mesin tulis. Dan, kalu saya lihat dari belakang, beliau itu lagi mengerjakan tugas membalas surat-surat dari cabang-cabang ANO seluruh Indonesia. Kebanyakan beliau kerjakan sendiri, sebab Bung Umar Burhan, sekretarisnya yang hitam manis itu, sibuk pula dengan tugas lain.”
Itulah sebuah artikel, ditulis oleh H.A.A. Achsien di harian Duta Masyarakat 11Agustus 1959, mengenang KH. Thohir Bakri. Tulisan tersebut tidaklah berlebihan. Selama hayatnya, waktu, tenaga dan pikiran Thohir Bakri, hampir seluruhnya dicurahkan untuk kepentingan organisasi Ansor dan NU.
KH. Ahmad Abdul Hamid (sekarang Mustasyar PBNU), begitu membaca tulisan H.A.A. Achsien, dan namanya disebut-sebut sebagai sahabat karib yang sebaya dengan Thohir Bakri, segera membuat beberapa catatan pengalamannya bersama kawannya. Tulisan¬nya juga dimuat di harian milik NU itu, dua minggu kemudian.
“Waktu itu,” cerita Kiai Ahmad, “kebetulan bulan Ramadhan. Ia bersama saya mondok di Tebuireng, Jombang mengaji kitab Hadits Buchori kepada Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Selama di pondok ia selalu mengungkapkan angan-angannya, kapankah santri-santri di seluruh Indonesia bisa menjadi anggota ANO, lengkap dengan pakaian uniformnya. Berkali-kali ia menjumpai KH. Wahid Hasyim di gotakannya guna meminta nasihat tentang hal itu.” (Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")